Sinopsis Pegawai Negeri Google

  
    Allaaaahuakbar, Alllaaaaahuaaakbar….
    Laailaaaha Illlaallah……

Photo : Facebook Mas Dian
    Suara itu disambut do’a para jamaah shalat shubuh. Satu-satu diantara mereka kemudian berdiri. Ada juga yang baru datang. Tampak damai di wajah mereka. Tiba-tiba suara hape berdering dari saku celana  warna coklat. Warna sebuah seragam di negeri impian yang baru saja menginjak usia kemerdekaan yang ke 165.


Suara hape itu. Entahlah apakah membuyarkan khusyuk para Jamaah atau malah membuat mereka beristigfar dalam hati.  Yang jelas, mereka terus rukuk, sujud dan menikmati keindahan pagi yang pertama kali, “setiap pagi” dikampanyekan oleh mahluk Allah bernama Ayam. 

Suara hape itu kembali berdering. Syukurnya sang pemakai celana coklat itu sudah menengokkan wajahnya ke kiri sambil mengucapkan doa, kurang lebih harapannya “semoga Allah menjauhkan kita dari siksaan api neraka”. Selesai salam, ia kemudian menjawab telpon atasannya.

    “Saya sudah lama menunggu di bandara, kamu masih tidur?” tanya hape itu.

    “Sa..sa..ya…,”


    “Saya bertanya ini ya,” kamu tidak usah ngeles.

    “Siap pak,” jawab Sani sang sopir yang setia.

Niat suci Sani untuk melaksanakan ibadah shalat shubuh berjamaah terpaksa tertunda. Bahkan sampai menjelang sun rise. Hingga shalat shubuhnya satu paket tender sama shalat dhuha. “Semoga Allah mengerti,” benaknya.

Nasib yang sama juga dialami oleh Zulyan, seorang aktivis sekaligus jurnalis yang kata seniornya lebih tepat disebut seniman. Ia baru saja diangkat sebagai aparatur sipil negeri berdasarkan SK sang raja dan peraturan kerajaan terbaru.

Ia belum memiliki nomor induk pegawai. Mungkin saja tidak akan pernah, karena ribuan bahkan jutaan ummat berseragam sepertinya, masih menggantung. Sulit, apalagi tipe seperti mereka bukan penyuap.

Hingga pada suatu hari, ketika para hamba itu sadar bahwa rizki bukan tergantung  anggaran kerajaan. Mereka kemudian mengambil langkah diskusi. Diskusi yang menghabiskan waktu.

Namun, karena harapan dan do’a serta iktiar yang keras. Mereka kemudian mendapatkan hidayah untuk cara lama mengais rizki. Dari dakwah di negeri gooogle. Sebuah negeri yang kaya dengan inspirasi.
Bahkan ummat di negerinya menyebut negeri itu ibarat ayah dari ibunya. Banyak yang menyebutnya mbah google.

Dari sanalah kemudian mereka bisa bebas dari belengge laporan fiktit plus sakit hati setiap hari melihat ketidakadilan di kantornya sendiri. Kerja g kerja dapat duit. "Pantesan banyak yang gajinya enggak berkah," hatinya. 


Novel dengan judul "Pegawai Negeri Google" ini dikemas dengan bahasa yang sebentar-sebentar diedit. Diposting bertahap dan lumayan rumit untuk mendapatkan sambungannya. Mungkin penulisnya sengaja, agar para pembaca juga bisa seperti dalam cerita. Bekerja dan dapat rizki, benar-benar karena peluh yang nyata.

Selamat menikmati.