Air Mata Air, Cerbung 3

Cerbung : Aku Lelah, Aku Kaya Bagian 3

Malam datang, perutku tak berani kumasukkan apa-apa.  Suasana masih dingin antara Aku, Ayah dan Ibu. Sejak kejadian sore itu, Ibu belum terlihat keluar dari kamarnya. Mungkin sudah, tapi aku saja yang mengurung diri. Sembab dimata masih terasa. Ingatan kepada pristiwa yang baru saja berlalu terus terngiang.

Magrib terlewati, jam 21.23. Lola datang dan berbisik, “ niki dari Ayah kak, dimakan ya,” ujar Lola memberikan nasi bungkus dan sebotol air bermerek “Aqua”. Bagaikan macan yang kelaparan, tanpa basa-basi kuraih nasi bungkus itu. Aku buka tanpa Basmallah.

“Stop dulu kakak,,,

“Kenapa dek, tanyaku heran.

“Kakak kan selalu bilang ma Lola, sebaiknya minum dulu baru makan. Sampai kakak menjelaskan cara minum yang baik. Adik senang lo..,sama kakak,,,.

Biar kakak terlihat pungky tapi kakak selalu mengutamakan Agama dalam bertindak. Walaupun kakak banyak pacar; kakak terlihat bisa jaga diri,” Lola terus berceloteh tanpa kutimpali.

“Kakak kok diam saja,,,”

"Besar banget ya masalahnya?
Biasanya kalau dimarahin Ibu, kakak g’ ambil pusing. Adek sengaja lo banyak bicara biar bisa hibur  kakak,” sambung Lola.

“Ya dah kak; Ampure geh, adik pergi dulu; biar kakak tidak terganggu.” Lola mengangkat tubuhnya ingin pergi. Segera kutahan dan  aku berjalan ke arah pintu, menguncinya. Mencoba tersenyum meski dalam keadaan berat.

“Bicara dah dek,,,

Kakak makan dulu, makasih ya” ujarku singkat sambil mengecup kening Lola.
Ku teguk air minum itu, langsung tanpa menuangkan dulu ke gelas. Karena memang yang dibawakan Lola hanya nasi bungkus dan sebotol Aqua. Sambil makan, Lola tak berkedip memandangku. Sesekali aku tersenggak karena grogi.

Air itu mampu meloloskan setiap suapan makanan yang mengisi perutku dalam keadaan lapar. Setengah makan, kenyang juga rasanya. Nasi tinggal setengah lagi, barulah Lola angkat bicara lagi.

“Boleh diskusi sambil makan kak,,? tanya Lola.

“Emmm, seharusnya nenten tapi enggih dah, jawabku.

“He, hehe horee,,,”senyum Lola manis menghibur. Sekitar tiga kali Lola melempar senyum. Membuatku tersenggak lagi dan meminum Aqua lagi. Kecantikan senyumnya membuat masalahku hilang sesaat, ditambah kesegaran air yang membuatkan normal menerima berbagai pertanyaan adik yang masih dipertanyakan, Adik kandung bukan ya?.

*****
“Mau diskusi apa sih adik cantik?, tanyaku sambil mengunyah Nasi dalam mulutku.

“Kakak cinta g’ sama produk lokal,,?

“Kok nanya gitu, dewasa banget. Mau jadi aktivis ya, pake produk lokal segala?.

“Kan kakak yang pernah ngajarin aku. Enggak ingat ya?. Gini kak, lanjut Lola tak berharap jawaban.

Dalam pelajaran Muatan Lokal. Dipelajari masalah produk lokal sekaligus untuk mengangkat kearifan lokal, khususnya yang ada di Lombok ini kak,” papar Lola dengan gaya khasnya.

“Muatan lokal apaan tuh, bahasa asli kita saja masih mengadopsi bahasa sinetron. Ada juga yang menggunakan bahasa TKI. Kita belum punya ciri khas tau,,” ujarku memancing presentasi Lola yang masih bau kencur.

“Ini inovasi kakak,,,

Jika bukan kita yang memulai, lalu siapa lagi?

“Gitu ya,?

Tunggu kakak selesai makan dulu geh,,,   

“Oke kakak cantik, cium dulu meh,,,

“Ihhhh kamu ini, lagi makan tau, sok romantis, hii,,,

“Ya dong, asal g’ sama pacar,,,sindir Lola nyengir.

Lola memang adik yang lucu, manja, mengerti dan sering menghiburku. Dalam pembelaannya ketika Ibu kesal kepadaku, Lola sering menyindir dan membuat marahnya Ibu mereda. Berbeda dengan Fhatin, Kakaknya dan Adikku juga.

Lola dan Fhatin beda satu tahun. Lola kelas 2 SMP, Fhatin kelas Dua Madrasah Aliyah di salah satu pondok pesanten di Lombok Barat. Ayah sengaja menekan Fhatin ke Pondok Pesantren agar perangainya berubah. Ia juga sepertinya senang. Alasan terbesarnya karena Fhatin agak muak melihatku.

Mungkin karena pengaruh waktu kecil secara bersamaan. Ketika usia dini, kami sering bertengkar, terutama masalah mainan, pakaian dan uang. Dalam keluargaku hanya Lola dan Ayah yang selalu menghiburku. Uniknya saya selalu diberikan lebih oleh Ayah. Aku baru ingat, Ayah tidak punya pekerjaan tetap. Yang aku herankan darimana ayah dapat uang dan berbagai fasilitas untuk keluarga kami. Ini juga yang membuat Ibu sering marah yang dilampiaskan kepadaku.

“Jangan lihat terus dong, nih makan sisa kakak,,,

“Ihh,,,udah habis baru nyapa, mari plastiknya adik buangin”. Lola langsung merebut plastik bekas bungkus nasi. Bungkusnya saja, kalau nasinya udah habis dan membuatku sedikit Lega karena terbebas dari lapar.  

“Ayo, mau diskusi apa, adik cantik?

“Siap kak, jawab Lola sambil minta izin mencari buku pelajarannya.

“Lekan ngonek ke diambil bukunya, dassar adik kecantikan, ujarku mengiringi langkah Lola ke luar ruang tidur.

“Kan sambil buang sampahnya bu bos,” kilahnya

“Dassar penimbalan,,”jawabku. Lola memang tidak pernah mau kalah dalam berbicara. Tapi tingkah polos dan lugu, ditambah senyumnya saat menimpali membuat apapun jawabannya, jarang masuk ke hati siapapun lawan bicaranya.

“Adik datang,,,”Teriak Lola sambil berlari tersenyum dan menubrukku.

“Marak dengan ndak pernah ketemu saja,,mana bukunya, kakak mau cepat tidur,,,”

“Iiih, pokoknya ndak tiang kasih kakak mensari malam ini, adik takut kakak kabur atau mimpi buruk,” kilah Lola.

“Emang kenapa dik,,” Adik tau ya masalah kakak?”Air mataku kembali jatuh, membuat sembab diwajahku belum juga sirna, walaupun canda Lola selalu menghiburku sejak pristiwa kepergok Ibu.

Pristiwa yang membuatku selalu terbayang bagaimana cemburunya Ibu menemukanku berpelukan dengan Ayah dalam keaadaan berbaju seksi diruang rahasia yang sama sekali tidak pernah dimasuki Ibu dan semua keluarga Pak Dani.

Melihatku meneteskan air mata, Lola langsung memelukku, spontan mengalihkan pembicaraan.
“Ayooo kak,,semangat!!!. Episode air mata sirna, babak baru Produk Lokal bisa!!!. Teriak Lola.
“Ya dek, plinggih bicara aja geh, kakak dengar dan kakak respon,”ujarku sambil mengusap air mata.

*****
Lola langsung bereaksi bicara, mengubah posisi duduk, berhadapan denganku bersama buku tugasnya ditengah kami. Dengan lancar dan semangat, walaupun kesedihan Lola juga terlihat karena masalahku, tapi inilah sisi yang mengagumkan, Ia mampu menahan bebannya, menggeret jiwa rapuhku untuk tetap bangkit, mencari berkah dan hal terindah dibalik masalah.

Meskipun Lola masih remaja awal, tapi sikap Dewasa  bercampur tingkah kekanak-kanakannya sering menjadi inspirasiku melewati berbagai gejolak hidup.

“Di sekolahku, ada Guru baru bersama Inovasi baru,Lola mulai pembicaraannya. Guru itu membawa pelajaran Muatan Lokal dengan sasaran langsung kepada hasil aksi. Teman-teman dibuat pusing kak, tapi aku senang. Bukan hanya teman saya, Guruku yang lain juga banyak yang meragukan pelajaran ini, terbukti dengan diberikannya 1 jam mata pelajaran dan memang terlihat diremehkan, maklum kanak sasak, girang te pade saling olok,” cerita Lola berapi-api.

“Udah, jangan terlalu sanjung gurunya, pake gosip lagi, kapan mulainya?” ujarku memutuskan penjelasan Lola.

“Geh kak,..” timpalnya.  Lola mengambil botol Aqua bersama air yang masih tersisa di dalam botol.  Sambil memegang botol, Lola kembali menguraikan latar belakang diskusinya, bahwa di Lombok ini dan Indonesia umumnya terdapat karakter yang merusak persatuan dan kesatuan.

Dalam hal berkarya, sangat langka figure yang menunjukkan sikap bangga dengan hasil karya atau inovasi rekan satu tanah Air, satu Bangsa, satu Nusa, satu Agama. Jarang saling mendukung dan memotivasi, yang ada saling mengintervensi, sentiment dan cendrung mematahkan semangat dalam berkarya.

Yang sering terjadi, sebuah ide banyak menjadi bahan perdebatan. Makanya orang malas beride, lebih senang demo. Ini menjadi tradisi yang sudah mengakar, mungkin karena itu putra-putri Lombok banyak yang lebih bangga menjadi TKI, kalau begini kapan Lombok bisa maju,,,

“Emang mau jadi Gubernur ya?. Kita aja belum maju, kok bicarain Lombok segala?.

“Wedew, jawaban kayak gini, sama sudah ma yang dimaksudkan guruku dan presentase adik tadi. Matahin semangat tau?” Bantah Lola

“Hehe, kakak sengaja mancing kompetensi kamu. Trus kalau presentase itu tidak usah lihat buku dong, nona!”. Aku kembali memutuskan bicaranya, padahal kalau kulihat isi pembicaraannya, banyak yang berasal dari bahasanya sendiri.

“Lassingan kakak terlihat g’ punya semangat. Adik langsung tanya dah geh,”. Kalau kakak minum tu, mengapa mesti Aqua?

Aku kaget dengan pertanyaan Lola. Cerdas benar anak ini mengaitkan produk Lokal dengan minuman yang baru saja ku teguk. Dia memang mau menghiburku atau serius dengan diskusinya. Aku memang belum konsentrasi dengan arah pembicaraan.

“Mmmm,,,Karena aku banyak dengar informasi, kalau Aqua itu selain berbisnis, sisi positifnya, Aqua ada social orientednya (orientasi social), aksi sosialnya banyak. Bukan sebatas program CSRnya. Bahkan sangat perhatian terhadap pemberdayaan yang berkaitan dengan lingkungan hidup sebagai bentuk pertanggungjawaban dan rasa syukur karena anugerah yang maha kuasa atas mata air yang diberikan, singkatnya kita tidak rugi membelinya,”paparku sedikit bersemangat.

Lihat tuh iklannya, melalui keinginan beriklan saja, sebuah perusahaan banyak membantu kemajuan berbagai pihak, utamanya kemajuan media sebagai sumber Ilmu pengetahuan. Karena peran media, seluruh Informasi dari Ibu kota Negara bisa diketahui oleh kita yang berada di plosok. Mobilisasi media sebagai preventif atau pencegah kesewenang-wenangan penguasa juga bisa terbantu, karena mereka tidak punya anggaran atau gaji dari negeri ini seperti guru-guru kita,”

“Mmm,, Dia bukan guru negeri kalee,”

“Ia, tapi pasti berharap jadi PNS, atau paling ndak Gaji Sertifikasi, nambah beban Negara tau,”

“Udahlah kak, pikiran adik g’ terjangkau sampai sana.

“Hehehe, ya udah, mau nanya apalagi?

“Tapi jika kita tidak berfikir dan bekerja dari diri kita, siapa lagi yang mau memulai? tambah Lola tidak ingin mengalah.

“Benneer dek, tapi kakak sudah mencoba, kakak kan jadi Ketua OSIS, dalam berbagai kegiatan pemberdayaan generasi seperti kita, belum kakak temukan perusahaan yang peduli betul sama kita-kita ini, begitu juga kan di sekolah adik?

“Ya juga sih kak, sekolah aja enggak peduli-peduli amat, trus gemana dong adik presentase di depan teman-teman adik besok tentang membangkitkan semangat mencintai produk Lokal terutama yang berkaitan dengan dukungan kebijakan untuk kearifan lokal?

“Enggak usah diskusi, tapi tunjukkan kerja nyata, karena negara kita waktunya terlalu banyak terbuang oleh diskusi, ya kan???

“Caranya?”

“Sebenarnya, bukan tugas kita terlalu memikirkan hal ini. Tapi karena ini tugas sekolah adik. Mari mulai dari sekarang, oke kita bahas.

“Caranya?” Lolanya bertanya kembali.

“Dalam diskusi nanti, materi cukup 20 %, selanjutnya teman-teman-temannya diajak membahas program. Kalau kakak lihat dari semangat adik, ada keyakinan gurunya juga akan senang. Sekarang tugasnya hanya merangkai cara melalui makalah.

Darimana dapat biaya, kalau misalnya tidak ada anggaran. Bisa dengan melakukan aksi sosial. Minta sumbangan kepada teman-temannya. OSIS di Sekolah adik bisa kerjasama dengan OSIS di Sekolah kakak. Siapa tau tahun depan dianggarkan. Itu kalau kepala Sekolahnya tidak apatis, paham?.”

“Siap kak, sekarang kakak boleh istirahat, tuh lihat matanya pink, hehe…!!!

“Trus adik gemana?

“Melaksanakan perintah tuan putri, sambil menunggu tuan putri, karena ini perintah Ayahanda Prabu,,,

  “Bukan perintah neng,,, tapi saran,” tutupku tertawa kecil dan mengambil selimut, langsung berbaring.
Lola serius menunggu di kamarku sambil mengerjakan tugasnya. Jam 22.45, masih pagi sebenarnya, tapi otakku terasa ingin istirahat. Capek berfikir dan dihujani perasaan, ditambah sisa pukulan Ayah tadi pagi, dibumbui panas pristiwa naas kepergok Ibu, menjadikan jiwa dan ragaku benar-benar rapuh, butuh Istirahat dan Aku terlelap. Tidur.


*****

Kini aku berada di antara dua bukit yang sama kering dan gersangnya. Tempatku berdiri jarak sedepa dari sungai yang menjadi pemisah dua bukit. Sungai itu terlihat tidak berperan meskipun airnya sangat besar yang bisa saja berdampak pada kesuburan rumput dan juga tumbuhan.

Dari arah bukit sebelah kanan, datang orang-orang yang Aku kenal memanggil, sementara di bukit sebelah kiri tiba-tiba ada seorang pemuda yang usianya berbeda sekitar tujuh tahun denganku sedang membuat perahu besar yang lebih besar dengan lebar sungai. Aku heran darimana dia dapat kayu.Padahal kondisi di sekelilingku sangat gersang.

Keherananku terhenti karena pangilan orang-orang dari atas bukit sebelah kanan. Tapi rasa penasaran kepada pemuda perahu itu membuatku selalu menoleh kesana. Tak kuhiraukan pangilan itu.  Aku bimbang mau mengikuti yang mana. Langkahku perlahan mundur, tidak sadar mundur ke arah sungai.
Beberapa langkah, sampai aku tidak sadar, kakiku terpleset jatuh dan terseret bersama derasnya arus sungai. 

“Aaaaaaaaa,,,tolooooooooong…..!!!,

Aku berteriak kencang, tiba-tiba seorang pemuda meraihku. Merangkulku diatas pangkuannya, memelukku erat diatas perahu. Aku menangis terisak, perahu itu menepi ke darat. Ke Arah yang lebih subur setelah entah berapa meter terseret. Kupandang pemuda itu sambil menangis, ternyata pemuda yang tadi membuat perahu.

Di tempat itu tidak ada siapa-siapa. hanya kami berdua. Aku nyaman sekaligus takut berdua bersama pemuda yang belum ku kenal, langsung menolong, walaupun baru melihatnya. Seolah-olah dia datang untukku. Refleks Aku berteriak kembali, sambil bertanya dalam tangis.

“Dimana kita, dan siapa kamu?”

Dimana teman-teman yang memanggilku?”

Mengapa kamu memelukku?”

Enggak sopan kamu?”

Siapaaaa kamuuuuu,,,,??!!.

Pertanyaanku tidak juga dijawab pemuda itu. Aku semakin khawatir dan ketakutan. Perlahan terdengar suara, terasa juga goyangan diatas pangkuan pemuda itu.

“Ini Lola kak, banguunnn,,.

Kakak bicara apa?”

Aku sadar dan terbangun. Kutatap Lola yang terlihat pucat. Sekelilingku berantakan.

Kembali ke Bagian 2

Bersambung Ke Bagian 4