Pelukan Gempa

Cerbung : Aku Lelah Aku Kaya Bagian

3 Jam 13.23. Masih terkurung di ruang rahasia. Ingin rasanya cepat keluar, tapi ayah belum juga datang. Suara Ibu dari luar sedikit menghibur rasa gersang, karena terasa disayang, meski sebatas lewat sanjungan. Aku yang malang merasa tersanjung melalui nasihat Ibu kepada Lola.

“Banyak sekali belanjaanmu nak,…

"Coba kamu seperti kak Lajumu, dia tidak pernah minta uang sama Ibu, belanja juga jarang”.

“Kan Ibu sering marahin kak Laju, mana berani kak Laju minta uang?” jawab Lola enteng.

Sumber Ilustrasi : Sriwijaya Post

Ibu dan Lola terus berbicara, sampai akhirnya suara mereka tak terdengar. Istirahat siang.
Walau sepi tak ada suara karena mungkin mereka sudah tertidur. Aku tetap tak berani keluar. Tersiksa didalam ruang berukuran lumayan besar itu. Sekitar 3x4 sama dengan sesak rasanya ditambah pikiran kacau dan bau badan. Jantungku sedikit lega karena ketakutanku dicurigai terhibur sudah.

Ada kebahagiaan juga ternyata Ibu tidak seapatis yang aku bayangkan. Tinggal berharap bagaimana ayah mengeluarkan aku dari kamar yang bukan menjadi rahasia lagi. Perlahan guncangan perasaan menuntut aku ke kamar mandi yang tersedia di ruang itu, mengambil air whudu’ dan shalat Dzuhur.


Selesai shalat, tentram rasanya walau dalam shalat, panah-panah perasaan menghujam jiwaku. Aku belum ingin berdo’a, karena keangkuhanku yang menganggap semua bisa dengan kecerdasan yang kumiliki. Dengan keangkuhan yang kutunjukan kepada Ibu dan pembuktian bahwa Ayah tidak salah menyayangiku.

Di posisi yang sama, aku baru ingat bahwa Januari bulan ini, bulan aku dilahirkan aku baru pertama shalat Dzuhur. Shalat yang aktif hanya shalat Shubuh saja. Alasannya karena ngefans kepada ciptaan Allah, yaitu Matahari. Prinsipku sebelum matahari terbit, aku harus menyembah yang menciptakannya.
Aku juga tidak ingin Matahari merusak kulit cantikku yang putih, mulus dan lembut kata pria yang pernah menyentuhku.

Shalat Subuh bagiku adalah teman sejati, bersama shalat Subuh aku bisa memohon apa saja tentang perjalanan hidupuku disetiap hari yang kulalui. “Prinsip yang aneh” kata guru Bimbingan Konselingku.
Kalau Shalat yang lain tergantung suasana, berdosa benar rasanya dan hari ini aku menyadarinya. Entah karena datangnya masalah atau pengalaman sekejap itu membuatku banyak menyadari nikmat yang aku ingkari.

Terlebih karena datangnya perasaan; siapa keluarga tempatku selama 16 tahun ini dan siapa orang tuaku yang sesungguhnya.

Mencoba menuju lemari tersambung meja tempat ku temukan judul aneh itu.

“Mala Januarti Rizkita” Bayi Cantik Dari Kuburan

“Kisah 100 Hari Bayi Selamat Diantara 2 Nisan”

“Penemu Bayi Itu “SURAM” Berharap Masa Depan

    Tapi sayang kliping itu sudah tidak ada walau laci meja tersambung lemari itu sudah tidak terkunci. Hanya tiga judul yang terngiang. Judul berita lain serta proses ditemukannya bayi  serupa dengan namaku tidak terlalu terpikir. Namun ciri dan rahasia sikap yang ditunjukkan keluarga ini membuatku semakin yakin. Banyak yang aneh dalam kehidupanku. 

Jam 15.55. Tidak bisa istirahat siang. Ngantukku hilang, pusat konsentrasi terarah pada siapa Aku yang sesungguhnya. Ayah belum juga pulang. Semakin letih saja rasanya. Khawatir pingsan untuk yang kedua kali. Kulangkahkan kaki mengambil air whuduq. Shalat Asar.

Dalam Shalat aku tidak konsentrasi, tubuhku lemah, hati bergejolak, bimbang dan penuh tanda tanya mengiringi. Disetiap sujud aku mulai berdo’a dan beristigfar.  Teringat pula masalalu ketika masih di bangku SMP, disaat musim pubertas. Disaat sempat merindukan sosok Ibu yang sama sayangnya seperti Ayah.

Ketika Aku melarikan diri menuju buaian cinta palsu banyak lelaki. Ketika rasa penasaran menyeruak tentang seorang wanita yang butuh kasih sayang berlebihan. Shalatku benar-benar kujadikan wadah pelarian. Aku lebih banyak mengingat masalahku.

Entahlah, apakah aku bersujud kepada masalah ataukah kepada yang menciptakan masalah. Yang jelas muncul perasaan aneh sesaat dalam Shalatku. Berharap jawaban kepada yang maha mengatur kehidupan. Terasa ikhlas menerima hukuman jika kemungkinan terburuk terjadi.

*****

 “Assalamualikum….”.

Ayah datang. Ibu tidak menjawab. Mungkin masih tertidur. Begitu juga Lola.

“Ini kesempatan,” ujarku dalam hati.

Mukena yang disediakan Ayah masih tertempel di tubuhku. Perlahan aku mendekati pintu. Ingin memberi Ayah isyarat agar mengeluarkanku. 

Perlahan mendekati dinding. Ragu rasanya, takut suaranya terlalu besar. Apalagi mengetuk pintu. Raguku membuat waktu terbuang dengan was-was yang kurasakan.

“Ya Allah bantu Hamba, lapar ne ya Allah,” gumamku.
Kudengar suara mendekat. Hatiku dag,dig,dug. Mungkinkan ini suara kaki Ayah. Suara itu perlahan menghilang, entah berbalik atau memang hanya perasaanku saja.

“Tunjukkan hamba solusi ya Allah, Pliss….ujarku lagi. 

Kubuka mukenaku, menyusupkannya lewat lubang bawah pintu. Langkah kaki itu datang kembali. Alhamdulilah, ujarku. Pintu dibuka.

“Makasih Ayah, ujarku sepontan memeluk Ayah.

“Ya Nak,,,maafkan Ayah, ujar Ayah sambil mendorong pintu. Niat ingin menutup pintu, namun pintu tidak sampai tertutup rapat. Kami lupa suasana rahasia agar tidak diketahui Ibu. Kami juga lupa bahwa Ibu sedang di rumah, entah masih tidur atau entahlah, yang jelas harapanku hanya satu, Ayah bisa jujur tentang nama di kliping Koran itu.

Lama kami berpelukan dalam hening. Menyimpan perasaan bersama rahasia yang belum terungkap. Tak ada kata, tak ada gerakan.

“Darr….,” suara pintu digedor.

Ternyata Ibu. Langsung membuat kami kaget.

“Saya buka pintu pelan, kalian tidak dengaar…

Kenikmatan ya, kurang ajar kalian” semprot Ibu.

“Dassar kamu anak harr….”, Mulut Ibu langsung ditutup Ayah.

Aku tidak memperhatikan apa yang disampaikan Ibu. Sambil ayah menutup mulut Ibu, dan memberi penjelasan, aku bersujud ditelapak kaki Ibu.

“Ayah baru datang bu, Laju terkurung lama disini,”Ayah menjelaskan.

“Bu….semua yang Ibu lihat tidak seperti yang Ibu bayangkan” sambungku.

Ibu menangis sambil bercucuran air mata. Ibu tidak peduli dengan penjelasan kami. Ayah membawa Ibu ke ruang tengah. Isak tangisnya semakin besar, membuat Lola datang heran dan bertanya kepadaku.

Aku yang juga meneteskan kristal bening di wajahku. Tidak bisa menjawab. Pelukan Ayah bak Gempa dalam dilema jiwaku. Mungkin juga Ibu dan Ayah, untung Lola tidak tahu, sehingga malam itu aku masih bisa di rumah, mengobati tubuhku yang seharian penuh belum terisi nasi.

Bersambung