Makalah Sastra Novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni

BAB I

PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang


Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilai serta makna yang terkandung dalam sastra. Sebaliknya, penelitian terhadap sastra baru dimulai sesudah orang bertanya apa dan dimana nilai dan makna karya sastra yang dihadapinya. Biasanya mereka berusaha menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan apa hakikat sastra. Sastra sebagai ungkapan Baku dari apa yang disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang menarik minat secara langsung.

Pada hakikatnya karya sastra adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw (1984: 22) yang mengatakan, bahwa ”Usaha lain untuk mendapatkan batasan sastra sebagai suatu gejala umum yaitu dengan mendekati dari namanya meskipun biasanya batasan itu tidak sempurna karena batasan itu harus diperluas dan diperketat apabila gejala itu akan dibicarakan secara ilmiah. Namun manfaat tinjauan dari pemakaian bahasa sehari-hari sebagai titik tolak cukup memadai”.

Kalau kita flash back beberapa tahun yang silam Horatius penyair besar romawi (65-8 SM) berpandangan bahwa karya sastra harus bertujuan dan berfungsi utile (bermanfaat) dan dulce (nikmat). Bermanfaat karena pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga dalam membaca karya sastra, yang mungkin bisa menjadi pegangan hidupnya karena mengungkapkan nilai-nilai luhur. Mungkin juga karya sastra itu mengisahkan hal-hal yang tidak terpuji, tetapi bagaimanapun pembaca masih bisa menarik pelajaran darinya sebab dalam membaca dan menyimak karya sastra pembaca dapat ingat dan sadar untuk tidak berbuat demikian. Selain itu, sastra harus bisa memberi nikmat melalui keindahan isi dan gaya bahasanya.

Dewasa ini, dimana-mana dapat disaksikan percampuran unsur-unsur kebudayaan sebagai pola kehidupan suatu masyarakat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya alat komunikasi yang canggih dan modern, agaknya jarak tidak lagi merupakan halangan bagi terjadinnaya proses komunikasi. Lebih lanjut keterbukaan itu menyebabkan terjadinya pergeseran tata nilai suatu masyarakat atau bangsa. Begitu juga dengan perkembangan karya sastra terus melaju mengikuti arus globalisasi dan beragam budaya masyarakat pada zamannya, sehingga gejala-gejala sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi dalam masyarakat dapat diungkapkan dan diimajinasikan dalam suatu karya sastra.

Jelaslah bahwa sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Lewat sastra dapat diketahui pandangan suatu masyarakat, sastra juga mewakili kehidupan dalam arti kenyataan sosial (Rene Wellek dan Austinn Warren, 1995: 15). Sehubungan dengan pandangan tersebut, maka kaitan  antara sastra dengan masyarakat inilah, sebenarnya yang menjadi dasar timbulnya masalah apresiasi sastra itu (Nafron Hasyim, 1987: 57). Berpedoman pada apresiasi yang menjadi sandaran dalam menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh, sehingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan perasaan dan pikiran positif terhadap karya sastra.

Termasuk juga penelitian ini sebagai alternatif untuk mengkaji sastra dari segi aspek budaya tanpa melupakan aspek sosialnya. Selanjutnya dimaksudkan untuk mengungkapkan masalah-masalah kebudayaan masyarakat yang melahirkan perbedaan ideologi dikalangan masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang mendorong semangat peneliti untuk menjadikan masalah tersebut sebagai objek kajian ini, serta berusaha menyingkapi nilai-nilai kehidupan yang terkandung didalamnya.

Novel yang merupakan bagian dari karya sastra yang melukiskan berbagai macam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, tentunya harus ada bentuk apresiasi dari penikmat dan masyarakat sastra terhadap karya sastra yang telah dihasilkan oleh para sastrawan. Sebagai salah satu bentuk perhatian terhadap karya sastra (novel), peneliti tertarik untuk mengkaji/menganalisis novel yang berjudul “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni.

Novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni merupakan novel kontemporer yang isinya melukiskan tentang kehidupan seorang santri muda dari kalangan rakyat biasa yang miskin, bukan keturunan orang kaya atau terpandang. Namanya Haedar Mubarrok (Habib Haedar), ia sangat cerdas dan berbakat, baik di kalangan sesama santri maupun di kalangan pengurus pondok tempat dia menuntut ilmu agama (Pesantren). Kecerdasannya melebihi teman-teman sesama santri di pondok, dengan kecerdasannya ia mampu merubah namanya menjadi luar biasa.

Nama aslinya adalah Haedar Mubarok menjadi Habib Haedar Mubarrok Assegaf. Sejarah Habib di kalangan pesantren tidaklah asing, seorang yang bernama Habib berarti orang tersebut memiliki silsilah keturunan dengan Nabi Muhammad SAW., Ia harus dihormati dan ditaati  tidak boleh dibantah walaupun yang diperintah atau dikerjakan itu salah. Hal inilah yang menjadi dasar berpijak, mengapa Haedar bertindak dan berprilaku semena-mena dilingkungan pondok, tanpa mengindahkan peraturan yang telah di sepakati. Berbagai penilaian dan persepsi masyarakat terhadap Habib Haedar pun bermunculan, apakah dia benar seorang Habib atau tidak? Ternyata  setelah diidentifikasi dia bukanlah seorang Habib, akan tetapi Ia adalah Habib palsu. Kehidupan pergaulan Habaib yang eksklusif tidak membuat Habib Haedar menutup diri kepada akhwal (kelompok non Habaib) Pergaulannya yang luas dengan santri biasa, Gus, Kyai dan Habaib di jawa membuat dirinya bersinar bagai mutiara, hingga Ia dipertemukan dengan Ummi Layla Al-Jufri yang cantik menawan.

Novel ini isinya melukiskan adanya pengaruh budaya luar yang dibawa ke dalam lingkungan pondok pesantren. Berdasarkan pertimbangan di atas maka penulis memutuskan untuk mengkaji/menganalisis novel yang berjudul “Habib Palsu Tersandunga Cinta” dari segi unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsiknya yang dalam hal ini fokus kajiannya pada aspek budaya.



1.2      Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

  • 1.Bagaimanakah struktur intrinsik yang membentuk novel “Habib Palsu Tersandung Cinta karya”Ubay Baequni?
  • 2.  Bagaimanakah aspek budaya yang terkandung dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni?
  • 1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian
  • 1.3.1    Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

  • 1. Untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik yang membentuk novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni.
  • 2.Untuk mengetaui aspek budaya yang terdapat pada novel “Habib Pulsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni.
  • 1.3.2    Manfaat Penelitian
  • A.Manfaat Teoritis

Adapun manfaat secara teoritis adalah sebagai berikut.

1.            Mendeskripsikan struktur yang membentuk novel “Habib Pulsu    Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni

2.            Mendeskripsikan nilai budaya masyarakat yang terdapat dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni


B.Manfaat Praktis


Secara praktis penelitian ini diharapkan sebagai berikut.

  • 1.Dapat menarik perhatian peneliti lain untuk mengadakan penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang masalah yang berhubungan dengan kebudayaan.
  • 2.Sebagai masukan kepada pihak terkait untuk mengkaji lebih jauh tentang novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni.
  • 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan oleh para peneliti berikutnya dalam mengkaji sebuah karya sastra.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1      Konsep Dasar


Karya sastra melalui pendekatan struktural seperti yang dikatakan Cuddon, keritik objektif berarti kritik yang menekankan pada struktur karya sastra itu sendiri dengan kemungkinan membebaskan dari dunia perang (1979:662). Selanjutnya bahwa kritik obyektif merupakan kritik yang menempatkan karya sastra  sebagai suatu yang mandiri, otonom dan punya dunia sendiri, kajiannya lebih intrinsik, mengkaji hal-hal yang ada dalam karya sastra itu sendiri (Abraham dalam Esten, 1987: 13)

Karya sastra yang bersifat otonom dengan koherensi yang bersifat intern adalah suatu totalitas antara unsur-unsur yang berkaitan erat antara yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari sisi intrinsik karya sastra, yaitu: tema, latar, (setting), perwatakan atau penokohan, alur/plot, sudut pandang, gaya bercerita atau berbahasa dan suspense.

Dengan memperhatikan unsur-unsur karya satra tersebut dapat dikatakan bahwa pendekatan struktur berarti menganalisis karya sastra dengan mengungkapkan unsur-unsur yang ada didalamnya, yaitu unsur-unsur yang membina kebulatan struktur. Dalam karya sastra, juga terkandung nilai-nilai. Arti kata nilai adalah harga, tafsiran dan angka (Anda Sontoso, 1990: 264). Kontjaraningrat (1984:25) mengatakan, bahwa nilai itu adalah tingkat utama ideal bagi kehidupan manusia.

Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, selain itu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam kehidupan. Oleh karena itu sistem nilai dalam sastra adalah unsur-unsur yang penting dalam kehidupan manusia tentang sisi positif dan negatif dalam karya sastra tersebut.

Pengertian nilai merupakan unsur yang baik dan buruknya sesuatu yang dapat ditafsirkan oleh karya sastra tentang nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri sehingga akan dapat diambil suatu kesimpulan dari unsur nilai tersebut (Partanto1990: 321). Nilai dalam sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur yang ada dalam cerita tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan unsur yang ada di dalamnya.

Dalam tulisan ini adalah suatu tafsiran tentang nilai-nilai yang positif dan negatif yang teradapat dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya  Ubay Baequni. Perbedaan novel dengan prosa. Novel adalah cerita fiksi yang melukiskan perbuatan-perbuatan dan pengalaman yang baik secara lahir dan bathin sesuai dengan wataknya dalam keadaan tertentu. Sedangkan prosa adalah bagian kecil dari novel.



2.2      Teori Struktur


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan, bahwa struktur berarti bagaimana sesuatu disusun atau rangkai (Poerwadarminta, 1983: 965). Analisis struktural merupakan suatu langkah di dalam memahami makna keseluruhan karya sastra yang dibangun atas makna-makna yang pembentukannya seperti yang dikemukakan oleh A. teeuw, bahwa analisis struktural merupakan langkah awal pekerjaan pendahuluan bagi para analisis sastra.

Analisis struktural karya sastra dalam hal ini novel yaitu dengan menganalisis novel secara keseluruhan dalam sebuah kesatuan yang utuh. Hal ini disebabkan unsur-unsur novel itu saling berhubungan erat dan saling menentukan maknanya. Dengan dianalisis secara keseluruhan dan kaitannya yang erat, maka novel dapat ditangkap dan difahami seutuhnya. Untuk memahami makna secara keseluruhan sangatlah penting novel itu dianalisis secara struktural.

Anlisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur bahwa unsur-unsur novel itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya, sebuah unsur tiadak mempunyai makna dengan sendirinya, terlepas dari unsur-unsur lainnya. Disamping itu, karna novel merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga disatukan dengan analisis semiotik (Prodopo, 1997: 118).

Unsur-unsur intrinsik novel yaitu sebagai berikut.

2.2.1    Tema


Pada umumnya setiap cerita fiksi mengandung suatu pokok persoalan (objek) yang hendak disampaikan dan membahas mengenai tema cerita merupakan hal yang sangat mendasar, karena membicarakan masalah prilaku atau tokoh dari suatu cerita tidaklah berhasil tanpa menyatakan tema. Seperti yang telah dikemukakan, bahwa cerita dari unsur yang saling berhubungan secara hidup. Masing-masing unsur juga tersurat unsur-unsur yang lain, dan juga terdapat dalam jalan cerita yang mengacu pada akhir cerita yang bermakna. Sehubungan dengan masalah tema, Yakub Sumarjo mengemukakan sebagai berikut:
“Tema adalah pokok pembicaraan di dalam sebuah cerita. Cerita bukan hanya berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi susunan bagan itu sendiri harus mempunyai maksud tertentu. Pengalaman yang harus dibeberkan dalam sebuah cerita harus mempunyai permasalahan” (1984: 57).

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan, tema adalah pokok permasalahan yang tersusun di dalam sebuah fiksi, merupakan sebuah ide yang penting dari interpretasi manusia.


2.2.2    Latar (setting)


Latar atau setting yang merupakan salah satu unsur cerita yang juga penting karena dengan adanya latar, gambaran mengenai kejadian atau peristiwa akan menjadi lebih kongkrit (Sumarjo, 1986: 58). Latar atau setting di sebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175) dalam Nugiantoro, (1994: 216).

Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah giografis, latar waktu berkaitan dengan masalah historis, dan latar sosial berkaiatan dengan kehidupan kemasyarakatan (sayuti, 2001:127). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa latar adalah suatu gambaran tempat, waktu, dan lingkungan sosial peristiwa itu terjadi.



2.2.3    Perwatakan atau Penokohan


Membaca sebuah cerita sastra yang baik, kemungkinan besar akan menangkap sejumlah hal yang berbeda tingkatannya. Secara sederhana dapat ditemukan karakter tokoh yang menyenangkan sebagai satu kesatuan  yang seolah-olah  menjadi kenyataan hidup, seperti humor, kebijakan cita-cita dan sejumlah keinginan  yang bermanfaat.

Kemungkinan juga akan ditemukan stimulasi ketautan, keragu-raguan bahkan dapat menangkap kepribadian penulis cerita tersebut. Hal ini dapat ditemukan, karena adanya fungsi tokoh dalam cerita yang memberikan gambaran tentang perwatakan atau karakter manusia yang hidup dalam hayalan pengarang. Masalah yang perlu dibicarakan sekarang adalah bagaimana pengaranng menampilkan karakter tokoh dalam cerita.

Dalam karya fiksi, pengarang menampilkan karakter tokohnya dengan teknik langsung dan tidak langsung. Pengarang menampilkan karakter tokoh dalam cerita konsisten dengan menggunakan teknik langsung, namun demikian tentunya tergantung juga pada tujuan cerita dan banyak juga tergantung pada ruang lingkup masalah yang disampaikan. Broks dan Warren mengemukakan, bahwa penampilan karakter dapat dilakukan dengan teknik dramtik melalui dialog dan Kisi/gerak (1959: 169).

Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Saleh Saad sebagai berikut yaitu: “Cara Pemunculan Tokoh: (1) Teknik Analisis (2) Teknik Dramatik. Dalam teknik dramatik, pengarang menggunakan lukisan tempat, dialog menggunakan pikiran pelaku lain, terhadap pelaku utama perbuatan tokoh. Sedangkan dalam teknik analitik pengarang yang langsung menguraikan tokohnya” (1993: 88).

Berdasarkan pendapat di atas, maka teknik yang biasanya digunakan pengarang dalam menampilkan watak atau karakter tokoh dalam cerita ada tiga (3) teknik antara lain:

  • a.Dengan Cara Langsung: pengarang mengembangkan secara langsung dan terperinci, bagaimana tempramen dan watak tokoh tertentu. Pengarang berusaha memberikan analisis yang jelas tentang tampang dan perangai tokoh secara langsung. Oleh karena itu secara pelukisan watak tokoh seperti itu disebut juga cara analitik.
  • b.Dengan Cara Tidak Langsung: pengarang menggambarkan watak tokoh cerita tidak dengan menganalisis secara langsung melainkan dengan cara lain atau tidak langsung: 1) Memberikan gambaran tentang keadaan fisik. 2) Dengan melalui percakapan atau dialog antara tokoh dengan tokoh, baik antara tokoh yang bersangkutan dengan tokoh lain maupun antara sesama tokoh lain  tentang dia. Cara ini disebut juga cara dramatik.
  • c.Dengan Cara Campuran: pengarang menggunakan cara 1 dan 2 dengan cara bervariasi.

2.2.4    Alur atau plot


Alur atau plot umumnya merupakan pertalian dari kejadian yang gamblang dalam cerita. Unsur ini merupakan hal yang sangat penting, karena didalam memahami hakikat dari sebuah cerita akan dianalisis mana yang menjadi satuan cerita dan mana yang merupakan yang aktual.

Sehubungan dengan masalah alur atau plot ini,  M. Saleh Saad (1990: 80), mengemukakan, bahwa alur adalah sambung-sinambungannya peristiwa berdasarkan sebab-akibat, alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi juga mengemukakan apa yang akan terjadi. M. Saleh Saad sejalan dengan pendapat  di atas, mengemukakan sebagai berikut:
“Alur atau Plot bukan sekedar urutan dari dari a sampai z saja , melainkan lebih merupakan sebab-akibat antara peritiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya dalam suatu cerita rekaan”.

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan, plot atau alur merupakan struktur sambung-sinambungnya aksi atau sederetan peristiwa berdasarkan sebab akibat yang pada umumnya dimulai tahap pemunculan, melalui pertengahan dan dan peralihan pada akhir cerita.

Akhmad Badrun mengemukakan jenis alur sebagai berikut:

a.            Alur lurus (datar), yaitu menceritakan rangkaian kejadian secara kronologis.
b.            Alur sorot balik (flash back)
c.             Alur rapat dan alur renggag (Badrun, 1983: 86)



2.2.5    Sudut Pandang (Point Of View)


Sudut pandang sering juga disebut Poit of view atau pusat pengisahan. Henri Guntur Tarigan (1985) mengemukakan, sebagai berikut: “Poin Of View atau sudut pandang adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dan alam piktif ceritanya, atau pun antara sang pengarang dengan pikiran dan perasaan para pembacanya. Sang pengarang seharusnya dapat menjelaskan kepada si pembaca bahwa dia selaku moderator mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungan dengan cerita itu“ (Tarigan, 1985: 81).

Sedangkan berbicara mengenai poin of view berarti membicarakan cara pengarang menyampaikan cerita. Point of view juga merupakan realisasi hubungan yang terdapat antara pengarang dalam alam rekaan ceritanya, dengan pikiran dan perasaan pembaca“ (Badrun, 1983: 91).

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan sudut pandang dalam penelitian ini adalah hubungan antara pengarang dengan rekaan ceritanya. Pembagian jenis point of view atau sudut pandang antara lain:

  • a). Sudut pandang orang pertama, yang biasanya menggunakan “Aku” gaya ini dapat digunakan oleh orang pertama dan dapat juga digunakan oleh orang pertama sebagai pelaku bawahan.
  • b). Sudut pandang peninjau biasanya pengarang menggunakan “Dia” dalam ceritanya.
  • c). Sudut pandang campuran antara gaya “Aku” dan “Dia”.

2.2.6      Gaya Bahasa


Yang dimaksud dengan gaya bahasa adalah cara pengarang memilih, mengatur dan menyajikan susunan kata-kata dalam suatu cerita (Jones, JR, 1968: 86). Jadi, Gaya Bahasa adalah bahasa kias, bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesan atau efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum.

Adapun macam-macam gaya bahasa yaitu sebagai berikut.

  • a. Perbandingan (Metapora): Membandingkan sesuatu (manusia) dengan yang lain atau hewan untuk menunjukkan persamaan sikap perilakunya, dengan cara memindahkan sifat-sifatnya.
  • b.Personofikasi: Membandingkan atau melukiskan suatu benda dengan memberikannya sifat-sifat manusia, sehingga-pelukisan menjadi hidup
  • c.Hiperbola: melukiskan suatu benda, hal atau peristiwa dengan cara/gaya yang berlebih-lebihan.
  • d.Simbolik: gaya yang melukiskan sesuatu dengan memakai lambang atau simbol-simbol tertentu.
  • e.Asosiasi: pelukisan suatu keadaan, pengertian, dan lain-lain dengan atau mengasosiasikannya pada waktu yang bersamaan maksud dan sifat-sifatnya.
  • f.Litotes: Gaya bahasa yang bermaksud merendahkan diri dengan melukiskan hal yang kurang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
  • g.Paradoks: Gaya bahasa yang menggambarkan suatu keadaan dengan kata-kata yang berlawanan maksudnya.
  • h.Pleonisme: Gaya bahasa yang suatu menggambarkan hal dengan kata-kata yang berlebihan.

2.3      Antropologi Sastra


Salah satu faktor yang mendorong perkembanagan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernest Kassirer (1956: 44), bahwa manusia sebagai animal syimbolicum, yang sekaligus menolak hakikat manusia sebagai semata-mata animal ratioanale. Menurut Cassirer, yang kemudian juga dimamfaatkan dalam sosiologi intraksi simbolik meadean (Ritzer Dan Dauglas, 2004: 272), sistem simbol mendahului sistem berpikir sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol.

Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran juga mesti dikonstruksi, sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Disatu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang mengemungkinkan sistem komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas.

Dipihak lain, sesuai dengan pendapat E. Bloch (dalam Satra Pretedja, 1982: ix), manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, yaitu:

  • a.Hubungan manusia dengan alam sekitar
  • b.Hubumgan manusia dengan manusia yang lain
  • c.Hubungan manusia denagn struktur dan institusi sosial.
  • d.Hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu
  • e.Manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan praktik
  • f.Manusia dan kesadaran relegius atau para relegius.

Secara definitif Antropologi Sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Denga melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu: antropologi fisik dan antropologi cultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia yaitu: kompleks ide, kompleks aktivitas dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleks ide.

2.4      Kebudayaan, Masyarakat dan Sastra

Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Bila mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai suatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi merupakan suatu yang dinamis, yang senantiasa berubah.

Hubungan antara budaya dengan masyarakat itu amatlah erat, karena kebudayaan itu sendiri menurut pandangan antropolog adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yan menentukan suatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya. Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan itu sebagai satu kesatuan, dimana sistem sosial itu adalah bagian dari kebudayaan.

Singkatnya kebudayaan itu dikatakan sebagai cara hidup suatu masyarakat atau bagaimana suatu masyarakat itu mengatur hidupnya.

Kebudayaan itu memiliki tiga unsur, yaitu sebagai berikut.

  • a.Unsur Sistem Sosial: sistem ini terdiri dari pada sistem kekeluargaan, sistem politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan dan sistem undang-undang. Hal ini dikenal dengan istilah Institusi Sosial, yaitu cara manusia hidup berkelompok mengatur hubungan antar yang satu dengan yang lain dalam jalinan hidup bermasyarakat.
  • b.Sistem Nilai dan Ide: yaitu sistem yang memberi makna kepada kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling, bahkan juga falsafah hidup masyarakat itu sendiri.
  • c.Peralatan Budaya: yaitu penciptaan material yang berupa perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan bermasyarakat.

Kesusestraan (novel) sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan pula ketiga unsur kebudayaan tersebut di atas.

  • 1.Kesesustraan akan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam dalam masayarakat.
  • 2.Mencerminkan bagaimana sistem ide dan nilai yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat.
  • 3.Mencerminkan mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Selain unsur kebudayaan, perlu juga disinggung sifat kebudayaan yang dirumuskan oleh para antropolog yaitu:

  • 1. Kebudayaan itu merupakan suatu yang selalu berkesinambungan, suatu yang diwariskan, suatu yang saling mempengaruhi, suatu yang selalu berubah.
  • 2.Kebudayaan itu merupakan suatu sistem lambang artinya manusia memiliki kebolehan berkomunikasi dengan menggunakan lambang-lambang. Bahasa itu merupakan sistem lambang.
  • 3. Kebudayaan itu relatif artinya setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri, memiliki ciri khas masing-masing yang dapat membedakannya dengan kebudayaan yang lain.

Bila ciri kebudayaan itu diletakkan pada sastra maka dapat dikaitkan pula dengan masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka dapat dinyatakan bahwa nilai suatu sastra pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri. Demikian pula halnya bila konsep kebudayaan diletakkan pada sastra, maka sastra sebagai ekspresi kebudayaan akan mencerminkan pula adanya perubahan-perubahan kehidupan pada masyarakat.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara masyarakat, kebudayaan dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat, yang satu dengan yang lainnya saling memberi pengaruh, saling membutuhkan dan menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.



2.5      Biografi Pengarang


Habib Palsu Tersandung Cinta merupakan salah satu judul novel yang ditulis oleh Ubay Baequni yang pertama kali dan Cetakan I tahun 2010. Ubay Baequni merupakan sastrawan yang terkenal tahun di era globalisasi sekarang ini, karna karya-karyanya yang unik dan menarik seperti Puisi, Cerpen dan Novel, pada tahun 2005 pernah mendapatkan piagam penghargaan dari MURI memecahkan Rekor MURI sebagai pembaca puisi tunggal terlama  48 Jam Nonstop  dia termasuk juga seniman karna pernah memenangkan juara II lomba seni lukis kaligrafi arsitektur yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universiatas Muhammadiyah Jakarta tahun 2004.

Karya kalikaturnya tersebar di Majalah LaDuni, tabloid LINTAS ( Media Antar Budaya) Jakarta.


BAB III

METOODE PENELITIAN

3.1      Objek Penelitiann


Menurut Sugiyono (2000:14), data penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kalimat, kata atau gambar. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka, atau data kualitatif yang diangkakan (skoring).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah jenis data kualitatif, berupa kata-kata atau gambar. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah  strukktur dan nilai dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya  Ubay Baequni.


3.2      Data dan Sumber Data

3.2.1    Data


Data dalam penelitian ini adalah struktur dan nilai yang terkandung dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya  Ubay Baequni.


3.2.2    Sumber Data


Sumber data dalam penelitian ini adalah teks atau novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” Karya Ubay Baequni. Adapun identittas novel sebagai berikut:

  • Judu novel                          :  Habib Palsu Tersandung Cinta
  • Pengarang                          :  Ubay Baequni
  • Kulit Depan                         :  Biru Kecoklat-coklatan
  • Penerbit                              :  Pinus Book Publisher
  • Cetakan                               :  Pertama
  • Tahun                                   :  2010
  • Jumlah Halaman               :  234


3.3      Metode Pengumpulan Data


Nazir membedakan antara metode dengan teknik dalam penelitian. Metode penelitian membantu peneliti dalam menentukan urutan kerja bagaimana penelitian dilakuakan, sedangkan teknik adalah alat-alat pengukur apa yang diperlukan dalam melakukan suatu penelitian (1985: 51). Mengingat jenis penilitian ini, yaitu studi pusataka maka data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumenter dan metode telaah.



3.3.1    Metode Dokumenter


Metode dokumentar adalah suatu cara atau sistem pemberian/pengumpulan, pemilihan, pengolahan dan penyampaian informasi berdasarkan keterangan-keterangan atau kutipan atau referensi lain yang dapat disajikan terhadap berbagai hal dalam penelitian dan pengkajian data selanjutnya.

Melalui metode ini data-data yang termuat dalam novel dikumpulkan sebagai perbendaharaan data untuk dapat digunakan sebagai bukti atau keterangan didalam melakukan pengkajian, penelaahan untuk selanjutnya data yang sudah terkumpul atau teridentfikasi itu dapat di analisis.



3.3.2    Metode Telaah


Metode telaah data yaitu suatu cara yang tercantum dan terfikir baik-baik atau cara kerja yang bersistem yang di terapkan untuk memudahkan melaksanakan penyelidikan, pengkajian, pemeriksaan, penelitian dengan maksud untuk memperoleh keterangan tentang bahasa; struktur cerpen dan keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan).



3.4      Metode Analisis Data


Sesuai dengan sifat penelitian ini, yakni penelitian kualitatif yang dilakukan dengan mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsef yang sedang dikaji secara khusus (Atar Semi, 1993). Maka metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualiatatif yaitu untuk menguraikan atau menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat.

Langkah-langkah dalam mengnalisis data:

3.4.1    Identifikasi


Untuk menemukan data, penulis mengumpulkan, menentukan atau menetapkan bagian keadaan pristiwa-pristiwa, hubungan dan keterkaitan antar berbagai unsur novel yang secara bersama-sama meng hasilkan sebuah keutuhan. Dengan demikian dapat mengenal atau memahami secara keseluruhan isi cerita novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni”.



3.4.2    Klasifikasi


Dalam penentuan untuk melengkapi perbendaharaan data ditentukan/diklasifikasikan tokoh-tokoh,penokohan bagimana yang palinng  menonjol atau peristiwa- peristiwa apa yang paling ditonjolkan oleh pengarang. Sedang dari segi makna; mengapa tokoh, watak, tema atau bentuk (struktur) novel itu harus di tampilkan oleh pengarang.



3.4.3    Evaluasi


Sebelum evaluasi, penulis memaparkan atau menggambarkan secara jelas dan terinci bagaimana fungsi masing- masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya dan bagaimana antar unsur itu sehingga secara bersama-sama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu.



3.4.4    Menganalisis


Langkah selanjutnya adalah menganalisis novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya  Ubay Baequni sebagai berikut.

  • a.Pengertian novel
  • b. Isi cerita secara totalitas
  • c. Mendata atau unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel “Habib Palsu Tersandung Cinta” karya Ubay Baequni: misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, perwatakan dan lain-lain.
  • d. Mendata  penggunaan bahasa dalam novel
  • e. Bagaimana hubungan antar unsur itu
  • f. Sumbagan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik
  • g. Fungsi dan makna keseluruhan yang ingin di capai dalam kesatuan unsur ekstrinsik.

BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

4.1      Penyajian Data


  • Judu novel                                      :   Habib Palsu Tersandung Cinta
  • Pengarang                                      :   Ubay Baequni
  • Kulit Depan                                     :   Biru Kecoklat-coklatan
  • Penerbit                                          :   Pinus Book Publisher
  • Cetakan                                           :   Pertama
  • Tahun                                               :   2010
  • Jumlah Halaman                           :   234

Bersambung